Arus Terkini

TPOLS Ungkap soal 6 Ciri Khas Industri Perkebunan Sawit yang Merusak

Jumat, 27 Desember 2024 11:5

Foto buruh perempuan melakukan pemungutan brondol. Dokumentasi Sawit Watch

ARUSBAWAH.CO - Industri sawit saat ini dikatakan masih jauh dari kata ieal.

Serikat-serikat buruh, pejuang agraria dan kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ TPOLS) menggambarkan kondisi yang terjadi pada industri serta buruh perkebunan sawit sepanjang tahun 2024.

Rizal Assalam sebagai Koordinator TPOLS menyampaikan hasil catatan Jaringan TPOLS yang menunjukkan terdapat enam ciri khas industri perkebunan sawit yang merusak.

Temuan-temuan ini masih relevan dengan adanya kumpulan kasus yang ditemui pada tahun 2024 ini.

Pertama, adalah kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, lalu ada eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan, cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi, serta ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah.

"Selain itu, ada pula soal penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, dan ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat," ucap Rizal Assalam dalam keterangan tertulis kepada redaksi Arusbawah.co.

TPOLS menilai, tidak adanya perlindungan terhadap buruh kebun ini diakibatkan oleh regulasi nasional yang buruk.

“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/ musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujar Damar Panca Sekretaris Jenderal Konfederasi

Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

Regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh.

Pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses oleh serikat buruh.

Uli Arta Siagian dari Walhi Eksekutif Nasional menegaskan bahwa “penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tidak akan efektif di situasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh.

Kekosongan hukum ini mendapat perhatian dari Sawit Watch. Hotler “Zidane” Parsaoran, dari Sawit Watch menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit.

Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur.

“Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan” ujarnya.

Sebelumnya, telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit.

Zidane menambahkan, “Pemerintah banyak memberi dukungan masif

terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen.

"Namun, dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit," tambahnya.

Ia menegaskan lagi bahwa RUU ini perlu masuk dalam prolegnas

prioritas. Perlu transisi yang adil dalam industri sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatifnya.

Deklarasi Sambas yang dikeluarkan oleh jaringan TPOLS dibuat sebagai acuan tuntutan-tuntutan yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit. (pra)

Tag

MORE