ARUSBAWAH.CO - Indonesia sedang menghadapi tantangan berat setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi menaikkan tarif impor untuk produk dari 20 negara, termasuk Indonesia.
Mulai 9 April 2025, AS akan mengenakan tarif impor sebesar 32 persen terhadap barang dari Indonesia.
Itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban tarif impor tertinggi dalam kebijakan baru tahap kedua dari pemerintahan Trump.
Saat diwawancara redaksi Arusbawah.co Staf Khusus Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau yang akrab disapa Gus Ipang, mengatakan pemerintah tidak akan gegabah menanggapi kebijakan itu.
"Kita tidak mau reaktif. Pemerintah memilih untuk memahami dulu duduk persoalannya. Kita tidak ingin terburu-buru seperti Cina atau Vietnam," kata Gus Ipang, Senin (7/4/2025).
Menurutnya, saat ini pemerintah sedang menyiapkan strategi lobi kepada pemerintah AS agar tarif tersebut bisa dikaji ulang atau setidaknya dikurangi.
“Diplomasi tetap jadi langkah awal. Kita cari titik temu, karena ini bukan cuma soal ekonomi, tapi juga geopolitik,” lanjutnya.
Namun, ia mengakui dampaknya juga sudah mulai terasa.
Nilai tukar rupiah jatuh ke Rp17.000 per dolar AS dan menimbulkan kepanikan di pasar.
Gus Ipang menambahkan, pemerintah masih menunggu penjelasan dari Bank Indonesia soal pelemahan rupiah tersebut.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo menilai pemerintah harus menyiapkan berbagai rencana cadangan jika jalur diplomasi gagal.
“Jangan hanya mengandalkan rencana A. Harus ada rencana B, rencana C. Karena ini bukan sekadar perang dagang biasa, ini jilid dua,” kata Purwadi saat dihubungi lewat telepon.
Ia menyoroti industri tekstil sebagai sektor yang paling rentan terdampak, karena selama ini menjadi andalan ekspor ke AS.
“KADIN sudah mulai khawatir. Industri tekstil kita sudah lemah, jangan sampai terjadi PHK besar-besaran,” ujarnya.
Selain itu, Purwadi memperingatkan potensi membanjirnya produk dari Cina dan Vietnam ke pasar Indonesia, akibat pasar AS yang tertutup.
“Kalau produk mereka tak bisa masuk ke Amerika, bisa saja mereka lempar ke Asia, termasuk Indonesia. Ini bahaya. Industri lokal kita bisa makin tertekan,” jelasnya.
Purwadi juga menyoroti masalah efisiensi investasi di Indonesia.
Dengan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) di atas 6 persen, Indonesia dinilai kurang menarik bagi investor asing.
“Investor butuh kepastian dan efisiensi. Kalau ICOR tinggi, ditambah masalah korupsi dan birokrasi rumit, investor bisa pindah ke negara lain seperti Vietnam,” katanya.
Ia juga menyebutkan sektor sawit dan batubara perlu mendapat perhatian khusus.
Meski ekspor batubara relatif aman, harga global yang terus turun bisa berdampak negatif pada ekonomi daerah seperti Kaltim.
“Ekspor sawit bisa terganggu karena sebagian besar digunakan untuk biodiesel yang diekspor ke Amerika. Kalau permintaan menurun, ekonomi daerah bisa ikut lesu,” katanya.
Purwadi juga menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS sebagai sumber kerentanan ekonomi nasional.
“Kerja sama dengan BRICS belum maksimal karena negara-negara anggotanya masih enggan pakai mata uang lokal. Selama dolar masih dominan, kita tetap rentan,” tutupnya.
