ARUSBAWAH.CO - Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur (Kaltim) menyayangkan adanya dugaan pencemaran nama baik pada salah satu ortu siswa yang melaporkan soal adanya pungutan liar (pungli) jual beli buku.
Untuk itu, TRC PPA Kaltim berharap kasus bullying yang terjadi di salah satu sekolah dasar di Samarinda mendapat perhatian serius dari Dinas Pendidikan Kota Samarinda.
Hal ini disampaikan Ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun, saat memberikan keterangan terkait insiden tersebut.
Menurut Rina, setelah mediasi dilakukan, kasus ini belum dilaporkan secara resmi karena belum ada kesepakatan damai antara kedua pihak.
"Kami menangani dua kasus yang saat ini sedang berproses, yaitu kasus intimidasi dan pungutan liar di sekolah," ujar Rina.
Rina menjelaskan, kasus pertama yang tengah ditangani adalah intimidasi yang dialami oleh seorang siswa.
Kasus kedua adalah laporan mengenai pungutan liar di sekolah yang melibatkan aliansi orang tua murid yang menamakan diri "Mama Marah."
Rina juga menyebut bahwa pihaknya turut mendampingi beberapa orang tua murid yang menjadi korban dari tindakan pungutan liar tersebut.
Selain itu, Rina juga menyoroti adanya tindakan pencemaran nama baik yang dialami oleh dua ibu, Lilis dan Nina, yang turut menyuarakan kekhawatiran orang tua lainnya mengenai pungutan liar di sekolah.
"Mbak Nina, meskipun seorang wartawan, juga seorang ibu yang anaknya bersekolah di tempat yang diduga melakukan praktik jual beli buku dan pungutan liar. Gerakan ini awalnya dimulai dari sekolah anaknya dan kemudian diikuti oleh orang tua dari sekolah lain," jelas Rina.
Mbak Nina, yang ditunjuk sebagai koordinator lapangan oleh para orang tua murid, menghadapi intimidasi dan pencemaran nama baik karena aksinya tersebut.
"Ada yang menuduh bahwa ini hanya aksi dari emak-emak yang dibayar karena profesi wartawannya. Padahal, dia bergerak sebagai seorang ibu, bukan sebagai wartawan," tegas Rina.
Rina juga menyebutkan bahwa tindakan Mbak Lilis, meskipun secara finansial mampu membeli buku untuk anaknya, adalah bentuk solidaritas terhadap ibu-ibu lain yang tidak mampu menyuarakan keluhan mereka.
"Mbak Lilis ikut menyuarakan karena ada ibu-ibu lain yang meminta bantuan untuk bersuara melalui dirinya," tambah Rina.
Kasus ini telah menimbulkan gejolak di kalangan orang tua murid, terutama setelah adanya surat edaran dan pernyataan dari pihak terkait yang dianggap memicu ketegangan lebih lanjut.
"Kami menarik diri sebagai TRC PPA untuk fokus mendampingi orang tua murid yang mengalami intimidasi akibat aksi ini," kata Rina.
Untuk saat ini, laporan terhadap kasus "playing victim" masih dalam proses di kepolisian.
"Kemarin sudah ada pemeriksaan lanjutan dan tinggal menunggu pemanggilan tiga oknum terduga pelaku," jelas Rina, seraya menambahkan bahwa mereka terus memantau perkembangan kasus ini dan berharap ada tindakan tegas dari pihak berwenang.
TRC PPA berharap, dengan adanya perhatian dari Dinas Pendidikan dan pihak berwenang lainnya, kasus-kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan memberikan efek jera bagi para pelaku bullying dan pungutan liar di sekolah. (ale)