Arusbawah.co - Toni Rüttiman menjadi perhatian ditanah air. Relawan asal Swiss ini punya catatan menarik bagi warga Indonesia.
Bagaimana tidak! Dia telah membangun 61 jembatan di daerah-daerah terpencil dari bumi Pertiwi. Dua di antaranya adalah jembatan di Kebumen, yakni di Giri Tirto dan Kedung Sari.
Sekarang warga di wilayah tersebut sudah bisa menikmati jembatan gantung oleh pengendara sepeda motor.
Perjalanan Toni ke Indonesia
Pada akhir tahun 2010, pria yang dikenal sebagai Toni el Suizo memulai karyanya di Indonesia.
Datang ke Indonesia karena rasa kepeduliannya terhadap berbagai pemberitaan di media massa, dimana begitu banyak anak-anak yang harus bergelantungan di jembatan yang rusak atau menyebrangi sungai berarus deras setiap harinya sebagai satu-satunya akses menuju sekolah di desanya.
Melihat keadaan itu, lalu hati Ruttiman pun tergerak dan memutuskan untuk berangkat ke Indonesia.
Ternyata diam-diam Ruttiman sudah tiga tahun keluar masuk kampung di wilayah terpencil di tanah air dan mengajak para warga bergotong-royong bahkan ‘Ruttiman’ tidak segan2 turun langsung membangun bersama-sama warga lokal.
Toni Rüttimann bekerja secara independen bersama komunitas kurang mampu yang menggunakan bahan-bahan daur ulang dan tanpa memasang tarif untuk pekerjaannya.
Perusahaan-perusahaan membantunya dengan cara mendonasikan bahan-bahan bekas mereka dan pemerintah daerah memberikan izin dan bantuan transportasi sebagai penghargaan terhadap suatu upaya yang utamanya dilakukan oleh masyarakat.
Bahkan tidak ada seorang pun yang meminta imbalan jembatan-jembatan tersebut dimiliki oleh masyarakat yang membangunnya.
Dan jembatan-jembatan tersebut hanya untuk digunakan oleh pejalan kaki, hewan pikul, sepeda motor, traktor roda dua, tetapi tidak untuk mobil.
Di setiap negara dimana Toni bekerja, ia membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari tukang las lokal dan mencari “mitra pembangun jembatan” yang akan diajarkan keahliannya dan yang pada nantinya akan melakukan tugas-tugas perawatan terhadap jembatan yang telah dibangun.
Toni sama sekali tidak memiliki rumah tinggal, ia selalu membawa semua yang ia perlukan dalam dua tas. Satu tas untuk barang-barang pribadi dan satu tas lagi untuk laptop dan beberapa alat untuk pekerjaannya dengan modal bekerjasama dengan masyarakat lokal.
Sepantasnya kita mengapresiasi apa yang telah dilakukan Toni. Bahkan diyakini dia adalah sosok orang yang tidak memiliki kepentingan apa2 terlebih didalam mendapatkan keuntungan apalagi memperkaya diri.

Justru ‘ Toni ‘ terlalu sibuk memikirkan mereka2 yang menderita setiap harinya khususnya anak-anak yang harus bergelantungan di jembatan yang rusak atau menyebrangi sungai berarus deras setiap harinya sebagai satu2nya akses menuju sekolah di desanya.
Bantuan Untuk Toni Ruttiman
Kala itu Tenaris menyumbangkan pipa-pipa dari anak perusahaannya di Indonesia, sementara pemerintah nasional memberikan izin dan menawarkan suatu bengkel las di luar Jakarta.
Angkatan Laut Indonesia dan Angkatan Darat Indonesia berkontribusi dalam sebagian besar transportasi laut di republik yang wilayahnya sangat luas ini. Namun, transportasi darat biasanya dibayarkan oleh masyarakat dimana jembatan tersebut dibangun.

Tim Indonesia terdiri dari Suntana, yang asalnya merupakan operator pabrik konstruksi di Dubai, dan tiga tukang las. Dari tahun 2011 sampai Maret 2014, tim ini sudah membangun 30 jembatan di Pulau Jawa dan Sulawesi.
Pernah Lumpuh akibat Sindrom Guillain-Barré
Pada bulan April 2002, Toni jatuh sakit akibat Sindrom Guillain–Barré yang menghancurkan mielin sistem saraf tepi, melumpuhkan otot-otot Toni.
Meskipun terbaring di rumah sakit dan kemudian dipindahkan ke National Medical Rehabilitation Centre of the Princess Sirindhorn di Thailand, tetapi Toni tidak pernah berhenti bekerja.
Di awal-awal, dengan menggunakan pensil dan kedua ibu jarinya, Toni membuat suatu program komputer untuk mengubah ukuran-ukuran yang dikirimkan oleh kolega-koleganya dari Meksiko dan Kamboja menjadi instruksi-instruksi yang jelas dan lengkap, sehingga mereka bisa melanjutkan pembangunan jembatan melalui jarak jauh.
Dengan cara ini, Walter menyelesaikan 29 jembatan di Meksiko dan kemudian kembali ke Ekuador, dimana mulai dari tahun 2003, dia melanjutkan membangun jembatan-jembatan hanya di negara asalnya saja. (*)