Sejak dua tahun terakhir, musibah banjir hantam 250 hektar sawah petani di Kelurahan Lempake, Samarinda. Mereka gagal panen dan rugi miliaran rupiah. Bulan bersalin tahun masalah ini seperti tak ada solusi
SAMARINDA, Arusbawah.co - Ketika senja tiba, rintik hujan baru saja berlalu di Jalan Giri Rejo Blimau, Kelurahan Lempake, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Suryani masih menenangkan putri kecilnya, ditemani putranya di pondok kecil beralas bambu, berukuran dua kali dua meter dipojok area sawah miliknya.
Baju biru yang dikenakan perempuan 42 tahun belum juga kering, dia langsung membantu suaminya menyabet batang kangkung. Mereka terlihat tanpa alas kaki.
Suryani terlihat begitu cekatan. Satu persatu batang kangkung yang ia cabut, langsung diikat rapi lalu meletakan ke tumpukan di sebelahnya.
Setiap ikatan mestinya 20 sampai 30 batang saja, tapi ia harus menambah jadi 50 batang sebab usia kangkung belum matang untuk panen. Banjir yang menggenangi sawah miliknya memaksa mereka memanen lebih awal.
Wajah lesu tak bisa ia sembunyikan. Dalam bayangannya, bibit empat kilo yang sudah ditanam beberapa pekan lalu bakal menghasilkan untung sekira Rp500.000. Harapan itu sirna.
Kangkung yang mestinya dipanen dua pekan lagi, terpaksa dipanen lebih awal biar tidak busuk.
"Harus dipanen sudah mas, kalau tidak rusak, daunya kuning, kalau rusak sudah tidak laku," lirih Suryani seraya melihatkan batang kangkung yang mungil.
"Saya modal pinjam, nanti panen langsung ada yang ambil, biasanya itu buat bayar utang, bayar keperluan lain, tapi kalau sudah begini, enggak tahu sudah gimana caranya mau kembalikan modal," keluhnya saat ditemui tim media Arusbawah.co, Sabtu (4/9/2021).

Kangkung adalah sebagian kecil dari kerugian yang dialami perempuan paru baya itu. Diatas lahan seluas satu hektar miliknya membentang area siap tanam padi sawah. Lirih mata dengan tatapan yang kosong, Suryani memandang benih padi. Sudah dicabut, tinggal tanam.
"Itu bibit enggak bisa lagi dipakai, batangnya sudah busuk, iya gagal tanam, mas. Kalau seminggu terendam langsung rusak," ia menunjuk ke arah persemaian bibit padi di samping pondok tempat putri kecilnya menunggu.
Suryani bukanlah satu-satunya petani di daerah tersebut. Nasib yang sama dialami 250 petani dari sembilan kelompok tani di daerah yang akrab dikenal Jalan Betapus itu.
Sepanjang area persawahan telah tertutup genangan air. Bak danau diatas hamparan lahan sawah seluas 250 hektar. Daerah ini memang langganan banjir, selalu terjadi kala hujan dengan intensitas tinggi. Tetapi kekinian kondisi banjir semakin parah, seiring bukaan lahan ditepi kawasan itu untuk pertambangan. Pohon-pohon tinggi dipapas hingga gundul.
Tak jauh dari lokasi Suryani, tim redaksi Arusbawah bergeser menemui petani lain. Sahar namanya, ia mengenakan baju hijau dengan topi lusuh. Sahar sebagai pembina mayoritas kelompok tani di sana. Dengan teliti ia merinci satu persatu masalah.

Sahar masih terbayang, 2019 lalu para petani masih bisa merasakan panen raya. Tapi tidak dua tahun terakhir. Dua kali tidak panen. Jangankan panen, masa tanam saja tidak, bibitnya busuk duluan sebelum ditanam karena digempur banjir.
"Sekarang ini kejadian ke dua, awal tahun 2020 kami juga gagal tanam, karena banjir ini semakin parah, kadang sebulan baru bisa surut," katanya.
Secercah harapan saat surut tiba, Sahar bilang itu adalah waktu tepat untuk menanam. Tetapi datang masalah baru. Banjir itu turut merusak semua benih padi yang sudah disemai.
"Kalau enggak ditanam iya sayang, tapi kalau di tanam, masyarakat punya bibit enggak," ujarnya.
Sahar merincikan kerugianya ditaksir hingga Rp 1,2 miliar. Dengan asumsi per hektar untuk siap tanam habis sekitar Rp 5 juta rupiah per hektar dari 250 hektar sawah yang terendam.
Situasi ini memaksa mereka putar otak demi menyambung hidup. Para petani memanfaatkan area kering dipinggiran sawah. Mulai dari menanam sayuran seperti tomat, terong, jagung, dan berbagai jenis sayuran lain.
Para petani tak punya pilihan lain, pengalaman dua kali gagal tanam hingga panen ini membuat mereka harus banting setir untuk bertahan hidup. Tak sedikit justru pindah jadi kuli bangunan.
"Sekitar 50 persen meninggalkan pertanian karena keadaan, jadi buruh-buruh bangun, rata-ratanya begitu, untuk makan sehari-hari,"paparnya.

Sahar mengaku, kondisi banjir dalam setahun ini merupakan yang terparah dari sebelumnya.
Ia menduga, selain karena curah hujan yang tinggi, banjir ini terjadi juga karena pengupasan lahan hingga pertambangan pada area resapan air dari hulu sungai.
Dalam bayangan dia, jika tak ada perbaikan, area sawah di Betapus itu diprediksi bakal menjadi waduk kedua selain waduk Benanga.
"Saya pastikan itu, kedepan bakal jadi waduk kedua, bukan lagi sawah seperti ini," Sahar memungkas obrolan sambil berpesan. "Suruh kepala dinas, atau pejabat turun lihat kami di sini,"
Sahar beranjak ke areal kebun sayuran, mencabut sawi dan seikat kangkung buat kami sebagai oleh-oleh. "Untuk makan malam," katanya.
*Penulis : JIFRAN*