ARUSBAWAH.CO - Narkoba bukan sekadar ancaman hukum.
Lebih dari itu, barang haram ini mengancam peradaban, merusak generasi, dan menghambat pembangunan bangsa.
Hal itu ditegaskan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Pol Marthinus Hukom, dalam kunjungannya ke Balai Kota Samarinda pada Rabu (05/02/2025).
Dalam kunjungannya, Komjen Marthinus menyaksikan langsung penandatanganan kerja sama strategis antara BNN dan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda.
Ia nilai, kesepakatan itu untuk memperkuat program rehabilitasi pecandu narkoba yang dibiayai langsung oleh Pemkot Samarinda.
"Rehabilitasi dan pencegahan harus menjadi prioritas utama. Samarinda telah mengambil langkah besar, dan kami berharap daerah lain mengikuti jejak ini," ujar Komjen Marthinus.
Menurutnya, langkah itu terbilang berani dan strategis.
Komjen Marthinus ungkap selama ini, anggaran rehabilitasi yang dimiliki BNN masih jauh dari mencukupi.
Padahal, data terbaru BNN RI menunjukkan ada 3,33 juta warga Indonesia yang menyalahgunakan narkoba.
Ia memaparkan, dari jumlah itu, 317 ribu adalah remaja, kelompok yang paling rentan menjadi target para pengedar.
Komjen Marthinus menegaskan bahwa jika tidak segera ditangani, Indonesia akan menghadapi krisis narkoba yang semakin parah.
"Setiap satu orang yang terjerat narkoba adalah tanggung jawab kita semua. Jika kita membiarkan, kita sedang menghancurkan generasi kita sendiri," tegasnya.
Samarinda, ibu kota Kaltim, bukan hanya pusat ekonomi daerah, tetapi juga menjadi salah satu titik rawan peredaran narkoba.
Wilayah ini memiliki akses strategis ke jalur pelayaran internasional dan berbatasan dengan Malaysia.
Menurut Komjen Marthinus, narkoba yang masuk ke Samarinda umumnya berasal dari Myanmar.
Barang haram itu diselundupkan melalui Asia Tenggara, Selat Malaka, Vietnam, lalu masuk ke Kaltara sebelum akhirnya menyebar ke berbagai kota, termasuk Samarinda.
"Potensi Samarinda menjadi pasar narkoba itu sangat kuat. Makanya kita harus punya komitmen bersama untuk memeranginya. Masyarakat, wartawan, dan aparat hukum harus saling mengawasi agar kita bisa memberantasnya dari akarnya," katanya.
Tingginya peredaran narkoba di Samarinda juga dibuktikan dengan data terbaru.
Pada 2024, tercatat hampir 2.000 kasus narkotika terjadi di Kaltim.
Jenis yang paling banyak beredar adalah sabu-sabu, dengan total barang bukti mencapai hampir 100 kilogram.
Menanggapi kondisi ini, BNN telah menyiapkan dua strategi utama.
Pendekatan pertama ialah supply reduction, yaitu menekan pasokan narkoba dengan memperkuat intelijen dan kerja sama antarinstansi.
Pendekatan kedua yaitu demand reduction, dengan fokus pada pencegahan dan rehabilitasi pengguna.
"Kami tidak hanya menangkap bandar, tapi juga menutup jalur masuknya narkoba. Kalau hanya menangkap di darat, kita cuma dapat ikan kecil. Maka sekarang kita fokus di laut, bekerja sama dengan Polri, Polda Kaltim, Bakamla, Bea Cukai, dan TNI Angkatan Laut," jelasnya.
Komjen Marthinus menegaskan bahwa perang terhadap narkoba harus dilakukan dengan tegas dan terstruktur.
Tidak hanya dengan menangkap para bandar, tetapi juga dengan memiskinkan mereka agar bisnis haram ini tidak bisa berjalan lagi.
"Pengedar mencari keuntungan dengan mengorbankan manusia. Mereka perlahan membunuh tanpa disadari. Kita tidak boleh membiarkan ini terjadi," katanya.
Namun, berbeda dengan pengedar, para pengguna harus diperlakukan dengan pendekatan yang lebih humanis.
BNN menganggap mereka sebagai korban yang perlu mendapatkan pengobatan dan pemulihan agar bisa kembali ke masyarakat.
Pendekatan ini telah diterapkan dalam kerja sama antara BNN dan Pemkot Samarinda.
Program rehabilitasi yang dibiayai langsung oleh pemerintah daerah itu diharapkan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia.
Wali Kota Samarinda, yang turut hadir dalam pertemuan itu, menyatakan bahwa sumber daya manusia adalah roda pembangunan yang tidak boleh rusak akibat narkoba.
Jika banyak masyarakat yang menjadi pecandu, maka pembangunan daerah akan terganggu.
"Membantu rehabilitasi pengguna narkoba adalah bentuk penyelesaian problem sosial. Jika tidak diatasi, pengguna ini bisa menghancurkan hidupnya sendiri dan menjadi beban bagi masyarakat," ujarnya.
Dalam diskusi dengan para wartawan, Komjen Marthinus juga menyoroti salah kaprah yang sering terjadi dalam penanganan kasus narkoba.
Masih banyak kasus di mana pengguna malah dikategorikan sebagai pengedar, atau sebaliknya, pengedar yang menyamar sebagai pengguna.
Ia menegaskan bahwa hukum harus dijalankan secara adil.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pengguna narkoba seharusnya mendapatkan rehabilitasi, bukan dipenjara.
Selain itu, ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 yang mengatur batasan jumlah kepemilikan narkoba sebelum seseorang dikategorikan sebagai pengedar.
Untuk memastikan keadilan, setiap kasus harus melalui asesmen terpadu, melibatkan unsur kesehatan, hukum, sosial, dan keluarga.
"Kalau asesmen ini dilakukan dengan benar, maka kita bisa memastikan siapa yang benar-benar pengguna dan siapa yang pengedar," jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti persoalan overcapacity di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Saat ini, lebih dari 52 persen penghuni lapas di Indonesia adalah narapidana kasus narkotika.
Jika sistem rehabilitasi bisa berjalan dengan baik, maka angka ini bisa ditekan.
BNN kini juga menerapkan strategi pemberantasan narkoba berbasis tematik.
Artinya, pendekatan di setiap daerah harus disesuaikan dengan karakteristik masalah yang ada.
Di daerah yang tingkat ekonominya rendah, pendekatan berbasis pemberdayaan ekonomi bisa menjadi solusi.
Sementara itu, di daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi, pendekatan hukum harus lebih diperketat.
"Kita tidak bisa pakai satu strategi yang sama di semua tempat. Setiap daerah punya karakteristiknya sendiri. Maka, strategi kita harus menyesuaikan dengan kondisi lapangan," katanya.
Dengan berbagai upaya yang terus dilakukan, BNN berharap Indonesia bisa keluar dari jeratan narkoba.
Namun, keberhasilan perang ini tidak hanya bergantung pada aparat hukum, tetapi juga pada kesadaran seluruh masyarakat.
"Negara ini tidak sedang baik-baik saja dalam menghadapi narkoba. Barang haram ini masih terus masuk ke Indonesia. Kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat," tutup Komjen Marthinus. (wan)