ARUSBAWAH.CO - Persoalan penyaluran kredit Bankaltimtara, menjadi salah satu pekerjaan rumah yang belum seratus persen terselesaikan.
Diketahui, baru-baru ini, terungkap soal adanya dugaan ketidakberesan dalam proses penyaluran kredit oleh bank pelat merah Kaltim itu.
Pertama, yakni adanya kasus yang dirunning Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim.
Dalam kasus itu, ada dugaan kredit fiktif Rp 15 Miliar yang menyeret dua oknum pegawai Bankaltimtara Cabang Balikpapan.
Kasus itu diduga terjadi pada periode 2021 lalu.
Dua tahun usai dugaan kejadian itu terjadi, pada 2023, juga sudah dilakukan pemeriksaan daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kaltimtara pada bank pelat merah Kaltim itu.
Hasilnya, dari pemeriksaan BPK, pola penyaluran kredit Bankaltimtara masih belum sempurna 100 persen.
Hal ini tercantum pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Daerah (IHPD) 2023 oleh BPK Kaltim.
Di laporan itu, BPK menyimpulkan bahwa operasional BPD Kaltim Kaltara dinilai "Sesuai Dengan Pengecualian", yang artinya terdapat beberapa kelemahan dalam kepatuhan mereka terhadap aturan.
Ada sejumlah temuan yang cukup signifikan, terutama dalam hal pengelolaan aset dan penyaluran kredit.
Temuan inipun dicantumkan per poin, yakni:
1. Kerugian Negara/Daerah: Kekurangan volume pengadaan aset hingga Rp187 juta pada Dua Pekerjaan Pengadaan Aset.
2. Administrasi: Masalah dalam penyelesaian agunan yang tidak sesuai ketentuan, serta pertanggungjawaban belanja diklat yang juga dianggap tak memenuhi aturan.
3. Sistem Pengendalian Intern yang Lemah: Terdapat banyak temuan pada aspek penyaluran kredit.
Berlanjut, dari hasil konfirmasi BPK Kaltim dengan para pihak terkait permasalahan tersebut, diketahui penyebab dari permasalahan-permasalahan tersebut, mulai dari pejabat pemutus belum cermat dalam melakukan analisis Riwayat pinjaman, kelayakan usaha, dan kemampuan bayar hingga soal pejabat pemrakarsa kredit belum cermat dalam menganalisis Riwayat pinjaman sebelumnya dan menginput nomor agunan pada perjanjian kredit.
Wawancara sebelumnya, Hairul Anwar, pengamat ekonomi sekaligus akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, memberikan pandangannya perihal dugaan kredit fiktif ini.
Menurutnya, kasus seperti ini, bukanlah hal baru di dunia perbankan, tetapi sangat disayangkan terjadi hal semacam ini di bank berpelat merah.
Namun, ia menyoroti pentingnya peran bank milik daerah yang seharusnya menjadi hal yang utama bagi perekonomian daerah, terutama dalam menjaga kepercayaan publik.
“Kejadian seperti ini jelas menurunkan citra bank daerah. Masyarakat bisa mulai berpikir bahwa pengajuan kredit di bank daerah menjadi lebih mudah diakses namun dengan risiko tinggi, terutama karena pengawasan di internal bank dipertanyakan”, tambahnya.
Hairul Anwar mengungkapkan bahwa peristiwa ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap bank milik pemerintah.
Ia menekankan bahwa publik kini memiliki tuntutan lebih tinggi terhadap keamanan dana yang mereka simpan.
Hairul Anwar juga menyayangkan masih digunakannya SPK (Surat Perintah Kerja) proyek sebagai jaminan untuk pengajuan kredit.
Menurutnya, SPK seharusnya tidak lagi dijadikan dasar untuk menjamin kredit, apalagi jika proyek terkait berada di luar wilayah Kaltim, yang artinya lebih sulit dikontrol.
“Jika SPK yang dijadikan jaminan terlambat dibayarkan, apa yang bisa disita? Inilah yang membuat kasus kredit fiktif dengan jaminan SPK menjadi sulit diantisipasi oleh bank, terlebih bank pemerintah,” ungkap Hairul.
Ia menilai kasus ini harus dievaluasi lebih mendalam pada kebijakan kredit di Bankaltimtara.
Hairul menekankan pentingnya kebijakan untuk memastikan bahwa jaminan yang digunakan dalam pemberian kredit dapat dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, bank seharusnya memiliki kebijakan yang lebih ketat terkait jaminan kredit.
“Bankaltimtara perlu mengevaluasi penggunaan SPK sebagai jaminan. Di era modern ini, sudah seharusnya bank dapat memanfaatkan aplikasi cek kredit dari BI atau OJK untuk memastikan kredibilitas calon nasabah,” jelasnya.
Hairul Anwar juga menyampaikan bahwa pemberian kredit sebaiknya tidak hanya mengandalkan dokumen seperti SPK, tetapi juga menilai rekam jejak kreditur.
Soal dugaan kredit fiktif di Bankaltimtara ini, tim redaksi Arusbawah.co turut menghubungi Parjiman, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltimtara.
Ia sampaikan soal pengawasan perbankan, khususnya pada Bankaltimtara, Parjiman menjelaskan bahwa OJK selalu menjalankan pengawasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan.
Dalam pengawasannya, OJK melakukan dua pendekatan: on-site dan off-site.
"Pemeriksaan on-site melibatkan kunjungan langsung dan peninjauan seluruh aspek operasional bank. Sementara itu, pemeriksaan off-site dilakukan melalui analisis laporan keuangan untuk memantau kesehatan bank secara keseluruhan," ungkap Parjiman.
Menurutnya, hal itu bertujuan untuk untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang perkembangan usaha dan keadaan keuangan Bank.
Termasuk mendeteksi hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan maupun kelangsungan usaha Bank
OJK Kaltimtara berharap, dengan pengawasan yang ketat, kasus kredit fiktif seperti ini dapat dicegah di masa depan.
Terakhir, Parjiman menambahkan bahwa jika publik ingin mengetahui perkembangan kasus ini lebih lanjut, mereka dapat menghubungi langsung pihak Bankaltimtara atau Kejaksaan Tinggi Kaltim.
"Kebenaran laporan yang disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dipublikasikan kepada masyarakat, dan informasi dan memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan OJK ketentuan peraturan perundang-undangan lain, dan pedoman ketentuan serta prosedur kerja yang ditetapkan Bank," tutup Parjiman.
Sebagai informasi, dugaan kredit fiktif Rp 15 Miliar saat ini tengah diusut Kejati Kaltim.
Dari kasus ini, dua pegawai PT Bankaltimtara Cabang Balikpapan sudah dilakukan penahanan.
Dua pegawai Bankaltimtara yang ditahan yaitu DZ, Pimpinan Bidang Perkreditan Bankaltimtara Cabang Balikpapan, dan ZA, Penyedia Kredit UMKM dan Korporasi di cabang yang sama.
Selain itu, juga seorang tersangka dari pihak swasta, RH, yang merupakan Branch Manager PT Erda Indah yang diduga melakukan pengajuan dan pencairan kredit Bankaltimtara kepada PT Erda Indah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari penyaluran kredit modal kerja oleh Bankaltimtara Cabang Balikpapan kepada PT Erda Indah pada tahun 2021.
Bankaltimtara menyetujui kredit sebesar Rp15 miliar kepada PT Erda Indah, yang diklaim seolah-olah telah mendapatkan kontrak pekerjaan pembangunan Hunian Tetap di Desa Lompio, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah dari PT Waskita Karya.
Namun, menurut Toni, ternyata kontrak tersebut tidak ada, sehingga penyaluran kredit ini dinilai fiktif.
“Kerjasama dengan PT Waskita Karya dijadikan alasan untuk pengajuan kredit. Kenyataannya, tidak ada kontrak tersebut. Artinya, pinjaman ini seolah-olah ada kontrak dari PT Waskita Karya, padahal faktanya tidak ada,” ujar Toni di ruang kerjanya, Kamis (31/10/2024).
Toni menegaskan bahwa proses penyidikan saat ini masih berlangsung dan Kejati Kaltim akan menyampaikan perkembangan lebih lanjut melalui siaran pers resmi.
Ketika ditanya apakah penyidik akan memeriksa pimpinan atau direktur Bankaltimtara, Toni menyebut bahwa pihaknya tidak dapat memastikan secara teknis.
“Saya tidak bisa memprediksi apakah pimpinan atau direktur Bankaltimtara akan diperiksa. Penyidik akan terus berupaya memperkuat alat bukti yang ada,” ungkap Toni. (wan/pra)