ARUSBAWAH.CO – Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Universitas Mulawarman (Unmul) yang selama ini dijadikan pusat penelitian dan pendidikan oleh mahasiswa, turut dijamah aktivitas tambang batu bara.
Temuan itu pertama kali diketahui oleh mahasiswa kehutanan Unmul yang sedang melakukan penelitian dan menemukan alat berat ekskavator di KHDTK.
Saat ditemui redaksi Arusbawah.co di ruang kerjanya, Rektor Unmul Abdunnur membantah dugaan keterlibatan pihak internal kampus dalam pemberian izin.
Abdunnur mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin dalam bentuk apa pun.
“Baik secara lisan, apalagi tertulis. Tidak ada izin! Yang ada hanya surat disposisi, bukan surat rekomendasi,” ujarnya, Kamis (10/4/2025).
Menurutnya, surat disposisi itu hanyalah bagian dari proses birokrasi internal kampus dalam menanggapi permohonan kerja sama, yang akhirnya ditolak oleh Fakultas Kehutanan.
“Wakil Rektor IV dan dekan tidak menyetujui. Jadi tidak ada tindak lanjut, tidak ada kerja sama, apalagi izin,” imbuhnya.
Kendati demikian, Unmul mengaku telah melaporkan aktivitas tambang itu kepada Kementerian Kehutanan sejak awal.
“Kami sudah laporkan sejak Agustus tahun lalu. Tapi tidak ada respons. Baru sekarang, setelah pembukaan lahan semakin luas, semuanya geger,” ungkap Abdunnur.
Berdasarkan pemetaan pihak pengelola KHDTK, lahan yang telah dirambah mencapai 3,26 hektare.
Kejadian itu pertama kali diketahui oleh mahasiswa kehutanan yang sedang melakukan kegiatan lapangan dan menemukan alat berat ekskavator di dalam kawasan.
“Mahasiswa yang melapor. Setelah dicek, ternyata benar. Sudah ada lahan yang terbuka cukup luas. Yang lebih parah, ini terjadi saat cuti bersama Lebaran. Mereka memanfaatkan situasi,” jelasnya.
Pihak Unmul langsung berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan, Gakkum, dan Dinas ESDM.
Saat ini, proses penyidikan telah ditangani oleh aparat penegak hukum bersama Gakkum Kementerian Kehutanan.
“Kami sudah serahkan semua data, termasuk dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu. Sekarang biarkan Gakkum bekerja,” tegasnya.
Abdunnur juga menduga aktivitas ini merupakan perluasan dari kegiatan tambang perusahaan di luar kawasan KHDTK, yang sejak tahun lalu telah berdampak terhadap lingkungan sekitar.
“Tahun lalu kami laporkan karena banjir. Saat itu, mereka memang belum masuk kawasan KHDTK, tapi dampaknya terasa. Sekarang, ekskavatornya malah sudah masuk,” beber Abdunnur.
Terkait sistem pengamanan kawasan, Abdunnur mengakui tidak adanya pagar pembatas untuk mengetahui kawasan milik Unmul.
Namun, menurutnya hal itu tidak bisa dijadikan alasan oleh pelaku perusak hutan.
“Mereka tahu batasnya. Kalau sampai 3,26 hektare terbuka, itu jelas disengaja, bukan kebetulan,” tegasnya.
Selain menyoroti aktivitas tambang ilegal, Abdunnur juga mengkritik Kementerian Kehutanan yang dinilai abai dalam bertindak.
“Kami kirim surat sejak tahun lalu, tapi tidak ada respons. Begitu hutan rusak, baru semuanya ribut. Kami tidak mau lempar tanggung jawab, tapi ini fakta,” tandasnya.
Fakta itu juga diungkap oleh Komisi II DPRD Samarinda dalam inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi, tepatnya di Kelurahan Tanah Merah, Samarinda Utara, Rabu (9/4/2025) sore.
Anggota Komisi II, Viktor Yuan, mengungkapkan kekecewaannya atas kondisi pembabatan hutan secara ilegal.
“Ini sudah keterlaluan. Kawasan pendidikan, kawasan konservasi, dijadikan lahan tambang ilegal. Kami bersama perwakilan masyarakat adat Dayak Kaltim meninjau langsung, dan faktanya nyata: ada alat berat, ada aktivitas,” ujarnya.
Viktor menilai aktivitas tambang itu tidak bisa dibiarkan dan mendesak aparat penegak hukum segera mencari dan menagkap pelaku.
“Jangan hanya lihat spanduk atau polisi tidur yang dipasang mahasiswa. Harus ada penindakan! Gakkum harus turun, pelaku harus diproses hukum,” tegasnya.
Komisi II juga menyarankan agar pengawasan kawasan dilakukan lebih ketat, bahkan menggunakan drone setiap hari untuk mengawasi dan memantau jika perlu.
“Itu tidak mahal. Drone bisa dikendalikan satu dua orang. Ini bukan kawasan bandara, tidak ada alasan untuk tidak mengawasi,” tambahnya.
Ia menyebut aktivitas penambangan di kawasan pendidikan itu sebagai bentuk darurat tambang.
“Kita sepakat 2026 tak ada lagi tambang di Samarinda. Tapi kenyataannya, saat ini Samarinda justru dikepung tambang ilegal,” tutupnya.
