ARUSBAWAH.CO - Peringatan Hari Anti Korupsi 2024, aktivis Komite HAM menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Kaltim, Senin (9/12/2024).
Dalam aksi mereka, costplay dilakukan dengan menampilkan persona yang mewakili 7 institusi, lembaga dan aparatur pemerintahan atau negara yang paling rajin korupsi di Indonesia.
Adapun ketujuh instansi yang diimpersonate adalah Presiden beserta mentri, Polisi, Pembisnis, Advokat, kepala daerah, pejabat pemerintah, anggota DPR dan DPD.
"Kami memandang penting untuk aksi peringatan Hari Anti Korupsi ini karena perilaku koruptif bukan hanya merusak sendi demokrasi dan pemerintahan yang bersih, tetapi juga merusak masa depan bangsa," ucap Diah, perwakilan dari massa aksi.
Ia sampaikam, masa depan bangsa dipertaruhkan karena ongkos politik yang makin meninggi.
Dimana dalam kandidasi dan kontestasi pemilu pihak yang terlibat harus mengumpulkan biaya politik yang sulit dipenuhi lewat cara-cara legal.
Diah sampaikan, biaya politik kemudian kerap bersumber dari ‘Ekonomi Undeground’, aktivitas ekonomi yang kental dengan perlindungan aparat penegak hukum.
"Salah satu fenomena ‘Ekonomi Underground’ adalah maraknya pertambangan ilegal setiap menjelang kontestasi pemilu. Yang disebut tambang ilegal bukan hanya tambang tak berijin namun juga tambang yang ijinnya dikeluarkan dengan cara yang tidak benar, seperti melalui penyuapan atau gratifikasi," jelaskan.
Untuk itu, melalui aksi ini, Komite HAM mengajak masyarakat untuk melakukan mosi tidak percaya terhadap ketujuh institusi yang paling rajin korupsi ini jika tidak menunjukkan niat untuk membersihkan dirinya sendiri dari perilaku koruptif.
"Karena korupsi demokrasi terluka dan masa depan bersama kita menjadi suram. Korupsi yang telah menjadi kanker stadium akhir ini membuat semua inisiatif pemulihan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau dan mitigasi perubahan iklim menjadi solusi omong kosong belaka," katanya.
Adanya golput yang cukup tinggi dalam pelaksanaan Pilkada 2024 dinilai menunjukkan tanda kejengahan masyarakat akan proses politik saat ini.
Data yang dirilis oleh LSI Denny JA rata-rata golput di 7 provinsi terbesar Indonesia yakni Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pada Pilkada 2024 adalah 37,63 persen.
Jika dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya (Pilkada 2019), terjadi kenaikan rata-rata angka golput sebesar 6,23 persen.
"Analisis positif mengkaitkan rendahnya angka partisipasi pemilih dengan kelelahan atau kebosanan setelah dinamika tahun politik yang panjang pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2024 lalu," jelas Diah, perwakilan dari Komite HAM dalam rilis yang diterima tim redaksi.
Dia menduga pula tingginya angka golput dalam Pilkada Serentak 2024 juga berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah pada para calon yang berkontestasi.
"Masyarakat tak yakin seberapa besar para pemimpin daerah terpilih akan merubah kehidupan mereka. Masyarakat sesungguhnya juga sudah jenggah dengan tren yang terjadi paska regim pemilu langsung dalam pemilihan kepala daerah," ujarnya.
Diah menilai, saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung memunculkan tren politik dinasti. Hampir merata di tiap-tiap daerah tumbuhnya ‘Keluarga Berkuasa’.
Bahkan tren politik dinasti ini kemudian menjadi virus yang menular hingga tingkat kepemimpinan nasional. Joko Widodo yang memulai karir sebagai Walikota Surakarta, membawa tren ‘Keluarga Berkuasa’ ke tingkat nasional.
Lingkaran keluarga yang diperluas hingga lembaga penegak hukum dan konstitusi, memungkin putranya duduk sebagai Wakil Presiden lewat ‘Mahkamah Keluarga’.
Fakta menguatnya Politik Dinasti ini terkuak lewat penelusuran yang dilakukan oleh Indonesia Coruption Watch. ICW juga menemukan 33 dari 37 provinsi terafiliasi dengan dinasti politik.
Menguatnya politik dinasti ternyata menjadi salah satu faktor penyumbang peningkatan angka korupsi.
Kekuasaan yang dikelola oleh sekelompok orang dekat membuat kolusi dan nepotisme meninggi.
"Masyarakat muak dengan tingkah dan polah ‘Keluarga Berkuasa’ dan lingkaran pejabat yang dekat dengannya yang kerap menunjukkan cara dan pola hidup bermewah-mewah. Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi, ternyata merupakan pestanya kelompok kecil yang kemudian kehidupannya berubah drastis, sementara masyarakat tetap menderita dan hanya dihibur dengan bantuan-bantuan yang diambil dari pendapatan negara dan daerah," pungkas Diah. (pra)